Wakil Bupati Kapuas Hulu, Antonius L Ain Pamero, SH menjadi narasumber dalam kegiatan Lokakarya yang diadakan di kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (20/8). Lokakarya yang diadakan GIZ Forclime tersebut tentang Pengelolaan Cagar Biosfer Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu, kegiatan ini berlangsung selama dua hari.
Sebagai narasumber Wabup Anton Pamero memaparkan tentang geografis, potensi dan perkembangan yang terjadi di Kapuas Hulu. Wabup juga membahas tentang isu peningkatan ekonomi terkait Hasi Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang ada di Kapuas Hulu.
“Baru-baru ini, yang sedang viral, pemanfaatan tradisional daun purik/kratom (mitragyna speciosa) yang masih satu keluarga dengan tumbuhan kopi-kopian. Tanaman ini sudah sejak lama dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat, sebelumnya banyak diambil dari alam, namun diduga mulai masif dibudidayakan sekitar 10 tahun terakhir,” papar Wabup.
Dari hasil menanam tersebut, kata Wabup, dengan masa panen daun mulai 6 bulan setelah tanam, masyarakat mulai menikmati harga purik/kratom, yang lebih baik dibanding karet, dimana daun basah dihargai Rp 5000/kg, remahan Rp 35.000/kg. Harga ini dipandang lebih baik dibandingkan karet Rp 6000/kg yang perlu masa panen setelah 4 tahun.
“Namun demikian, kemudian muncul informasi-informasi bahwa salah satu senyawa kandungan purik/kratom dianggap sebagai zat psycoactive baru, isu pelarangan perdagangan serta adanya perbedaan pandangan kementerian/lembaga di pemerintah pusat atas legalitas purik/kratom. Karena isu tersebut, sekitar 1 minggu yang lalu harga daun basah purik di petani (di beberapa tempat) menurun menjadi Rp 2000/kg dari yang sebelumnya Rp 5000/kg,” ujar Wabup.
Hal ini disebabkan berkurangnya pengumpul akibat takut dianggap penadah narkotika. Padahal secara resmi tanaman purik dinyatakan sebagai tumbuhan berkhasiat obat dalam buku terbitan Balittek K.S.D.A – Litbang Kehutanan yang berjudul tumbuhan berkhasiat obat etnis asli Kalimantan terbitan tahun 2012 dan belum masuk dalam daftar lampiran Permenkes Nomor 20/2018 tentang perubahan penggolongan narkotika.
“Kami memohon, melalui workhsop ini, hasil rapat Ibu Menteri Kehutanan dengan DPR RI pada tanggal 24 juni 2019, yang mengamanahkan untuk mengoptimalkan budidaya HHBK salah satunya adalah purik/kratom, dapat segera ditinjaklanjuti paling tidak sementara ini masuk secara resmi sebagai HHBK kehutanan, karena purik/kratom merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang secara alami tumbuh di Kapuas Hulu, bahkan di beberapa tempat bisa dijumpai pohonnya yang berdiameter sekitar 1,5 meter,” ujar Wabup
Dari pendataan sementara purik terakhir oleh Pemkab Kapuas Hulu, kata Wabup, ada 74 desa yang membudidayakan tanaman purik/kratom, terdiri dari 10.747 petani kratom, dengan luas tanaman total 6.236,47 hektar tanaman. Keseluruhan lahan diperkirakan berisi sebanyak 8.790.405 batang tanaman kratom dengan umur tanaman bervariasi. Investasi ini sebagian besar merupakan swadaya masyarakat, baik itu dari pembibitan sampai pemeliharaan. Sebagian lainnya dibudidayakan melalui dukungan program Forclime F.C.
“Saat ini, dari jumlah tanaman tersebut, diperkirakan menghasilkan panen daun segar sebanyak 2.757 ton/bulan atau terdapat penerimaan pendapatan oleh masyarakat total sebesar + 13,78m/bulan, dihitung dari harga daun basah Rp 5000/kg.
Namun penerimaan itu dipandang pendapatan minimal, karena faktanya sebagian masyarakat juga menjual dalam kondisi kering remahan. Perlu dukungan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, agar purik/kratom ini tetap bisa budidayakan dan diperdagangkan sebagian besar ekspor ke luar negeri,”ucap Wabup.
Sebelum purik/kratom viral, ada madu Kapuas Hulu yang berbeda dengan madu hutan wilayah lain. Hasil riset Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI), menunjukkan bahwa didalam madu Kapuas Hulu terdapat 1 senyawa anti cacing (dimetil piperazin) yang tidak terdapat di madu teso nilo, Sumbawa dan Ujung Kulon, yang berasal dari nektar khas bunga pohon hutan rawa gambut tropis seperti kayu putat, kayu taon, dansebagainya. “Untuk meningkatkan daya saing madu Kapuas Hulu, saat ini Pemkab sedang mengusulkan indikasi geografis untuk madu Kapuas Hulu. Selain itu, ada juga tengkawang, ada daun tubuk/sengkubak pengganti perasa m.s.g (micin), dan lain sebagainya,” papar Wabup.
Mengingat besarnya potensi ekonomi HHBK, Pemkab Kapuas Hulu memohon kepada Bappenas di draft RPJMN nya, kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di draft Renstranya, untuk dapat mendorong peningkatan nilai tambah HHBK. Badan Litbang KLHK perlu didorong untuk melakukan penelitian dan pengembangan produk-produk HHBK agar bisa meningkatkan nilai tambah produk tersebut dan mensosialisasikannya kepada masyarakat luas.
“Kemudian perlu juga dioptimalkan kembali kerjasama pengembangan HHBK antar eselon, dan antara KLHK dengan Kementerian lain serta dengan Dinas Kehutanan Provinsi, sehingga pengembangan produk HHBK nya berjalan secara holistik dan komprehensif dari Hulu ke Hilir,” tuntas Wabup.
Lokakarya Pengelolaan Cagar Biosfer Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu yang dilaksanakan dikota Bogor, Jawa Barat melibatkan berbagai kalangan. Selain Wabup, hadir Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu, Kuswandi, serta utursan OPD Kapuas Hulu yang terkait sperti Bappeda, Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata serta lainnya. Trutserta pula lembaga-lembaga pemerhati lingkungan serta tokoh masyarakat Kapuas Hulu. (yohanes)